Selasa, 21 Agustus 2012

Benarkah Nabi pernah di Sihir??

Sebuah matan hadits yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW disihir, mengakibatkan banyak pertanyaan, Apakah benar Nabi Muhammad sebagai Nabi yang ma'shum bisa terkena sihir???Apakah benar Nabi yang tiap harinya penuh dengan mengerjakan  ibadah bisa terkena sihir??

untuk membahas matan hadits tersebut, penulis akan mengurai sedikit pendahuluan mengenai matan hadits yang bertentangan dengan dengan akal manusia.

Teks matan hadits bertebaran dalam kitab-kitab hadits, tidak semuanya aman dikonsumsi oleh umat Islam, banyak di antaranya yang membahayakan, apalagi jika teks matan itu terkait dengan masalah ibadah atau praktek ajaran Islam secara umum.
Apa yang dianggap datang dari Nabi Muhammad ternyata belum tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Semua ini dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa validitas sebuah hadits sangat tergantung pada integritas seorang perawi.
Tepat kiranya bila dikatakan bahwa “keshahihan sanad belum tentu diikuti oleh keshahihan matan”. Apabila materi hadits bertentangan secara tegas dengan maksud al-Qur’an, di mana tidak mungkin dipahami dengan metode kompromi (jama’) dan sebagainya, maka besar kemungkinan hadits itu dho’if. Akan tetapi, tidak mudah untuk memvonis seperti itu, sebab kontroversial antara hadits dan al-Qur’an terkadang hanya berangkat dari ketidak tahuan seseorang dalam memahami maksud hadits tersebut. Sebagai contoh hadits yang akan penulis bahas dalam blog ini.
Cekidoot... :)

"Telah bercerita kepada kami Ibrahim bin Musa telah mengabarkan kepada kami ‘Isa dari Hisyam dari bapaknya dari ‘Aisyah Radhiallahu‘anha berkata, ”Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah disihir.”Dan berkata Al-Laits, ”Hisyam menulis surat kepadaku bahwa dia mendengarnya, dia anggap dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu ‘anhuma berkata:  
”Nabi shallaallahu ‘alaihi wasallam telah disihir hingga terbayang oleh beliau seolah-olah berbuat sesuatu padahal tidak. Hingga pada suatu hari Beliau memanggil-manggil kemudian berkata:”Apakah kamu menyadari bahwa Allah telah memutuskan tentang kesembuhanku?, Telah datang kepadaku dua orang,  satu di antaranya duduk dekat kepalaku dan yang satu lagi duduk di dekat kakiku. Yang satu bertanya kepada yang lainnya, ”Sakit apa orang ini?”. Yang lain menjawab, ”Kena sihir”. Yang satu bertanya lagi, ”Siapa yang menyihirnya?”. Yang lain menjawab, ”Labid bin Al A’sham.”Yang satu bertanya lagi.”Dengan cara apa?”. Dijawab, ”Dengan cara melalui sisir,  rambut yang rontok saat disisir dan putik kembang kurma jantan”. Yang satu lagi, ”Sekarang sihir itu diletakkan dimana?”. Yang lain menjawab, ”Di sumur Dzarwan”.  Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi mendatangi tempat tersebut kemudian kembali dan berkata kepada ‘Aisyah setelah kembali, ”Putik kurmannya bagaikan kepala-kepala syetan. ”Aku bertanya, ”Apakah telah baginda keluarkan’. Beliau berkata:”Tidak,  karena Allah telah menyembuhkan aku.  Namun aku khawatir bekasnya itu dapat mempengaruhi manusia maka sumur itu aku urug (timbun).

Penjelasan Hadits
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa setelah perjanjian Hudaibiyah ada seorang laki-laki yang bernama Labid bin al-A’sham telah menyihir Rasulullah SAW. Ia memasang sihir atau sesuatu yang biasa digunakan untuk menyisir rambut. Kemudian ia mengikatnya dengan tali dan meludahinya, kemudian ia memasukkannya ke dalam sumur. Riwayat-riwayat itu menceritakan bahwa Rasulullah SAW berada dalam pengaruh sihir ini selama beberapa hari. Beliau selalu dibayang-bayangi oleh kesedihan,  kesusahan dan kegelisahan. Beliau selalu memperbanyak doa disebabkan kegalauan jiwa.
Riwayat-riwayat itu menceritakan bahwa Labid bin al-A’sham yang melepaskan serangan-serangan itu sehingga tiba-tiba Rasulullah SAW berada dalam keadaan lemah yakni mengalami lupa berat. Sampai-sampai beliau mengira telah melakukan sesuatu padahal tidak. Setahu beliau menganggap beliau sedang mendatangi isteri-isteri beliau padahal sebenarnya tidak. Sesungguhnya kebiasaan beliau yaitu mendatangi isteri-isteri beliau satu persatu pada setiap sore untuk mengecek keadaan-keadaan mereka, hingga beliau sampai di rumah isteri yang memperoleh giliran untuk beliau bermalam. Ketika mencapai puncaknya, Allah SWT. mengemukakan kepada beliau dengan perantaraan mimpi yang benar mengenai perbuatan yang keji ini (sihir)
Akan tetapi harus diketahaui bahwa sihir tak jauh berbeda dengan penyakit. Sebagaimana penyakit dan sihir dapat menimpa seorang manusia, begitu pula seorang Nabi, betapun mulia kedudukannya dapat tertimpa penyakit dan sihir,  karena setiap Nabi juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Perbedaannya adalah penyakit dan sihir yang menimpa Nabi adalah penyakit dan sihir yang tidak menghambat tugasnya dalam menyampaikan Risalah Tuhannya.
Dan  sihir yang menimpah Nabi SAW hanya berdampak pada jasmani saja dan tidak sampai mempengaruhi akal. Nabi SAW masih sadar dengan apa yang beliau ucapkan. Sehingga hal tersebut tidak mengganggu tugas beliau sebagai penyampai Risalah.

Hukum Hadits Dari Segi Sanad
Dari rantaian sanad yang telah dipaparkan dalam teks hadits,   penilaian jarh wa at-ta’dil para perawi,   yaitu:
Ø  ‘Aisyah bint Abu Bakar                     
menurut Ibn Hajar                               : Sahabat”Tsiqoh”
Menurut Ibn Hatim                             : Tsiqoh
Ø  ‘Urwah ibn Zubair ibn al-‘Awam      
menurut Ibn Hajar                               : Tsiqoh
menurut muhammad ibn sa’ad            : Tsiqoh
Ø  Hisyam ibn ‘Urwah ibn Zubair          
menurut Ibn Hajar                               : Tsiqoh faqih
menurut Ya’qub ibn Syaibah              : Tsiqoh tsabat
Ø  ‘Isa ibn Yunus ibn Abi Ishaq as-Sabi’i
menurut Ibn Hajar                               : Tsiqoh Ma’mun
menurut hambal ibn Ishaq                   : Tsiqoh
Ø  Ibrahim Ibn Musa ibn Yazid ibn Zadan
menurut Ibn Hajar                               : Tsiqoh Hafidz
menurut imam Nasa’i                          : Tsiqoh
Apabila melihat jarh wa at-ta’dil para perawi, maka dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut jika dinilai dari segi sanad, yaitu: Shahih. 

 
Hukum Hadits Dari Segi Matan Beserta Kontradiksinya
1.      Kelompok pro
Sebagian kelompok mengatakan ada 2 sisi yang yang harus diperhatikan dalam hadits ini.
Pertama: harus diketahui bahwa sihir yang mengenai Rasulullah SAW tidak ada pengaruhnya terhadap otak dan pikiran Rasulullah SAW, tetapi hanya mengenai badan saja, karena beliau hanya terbayang bisa menggauli istrinya,  tetapi kenyataannya tidak bisa. Ini menunjukkan bahwa sihir tersebut hanya berpengaruh pada kekuatan seks Rasulullah SAW, dan tidak berpengaruh kepada otak atau pikiran beliau. Keadaan seperti ini sama dengan keadaan orang yang terkena sakit demam, pilek, masuk angin atau penyakit-penyakit lainnya. Berkata Ibrahim al-Baijuri dalam” Tuhfatul Murid Syarah Jauhar Tauhid” hal 153: ”Bahwa para Rasul boleh bagi mereka makan, bersenggama, dan seluruh kekurangan yang menimpa seluruh manusia yang –notabenenya– tidak mengurangi martabat mereka sebagai Nabi,  seperti sakit dan pingsan. Al Balqini dan Abu Hamid telah menulis hal ini secara ringkas, bahwasanya Rasulullah SAW pernah pingsan ketika sakit pada hari kematiannya, sebagaimana yang tersebut dalam hadist shahih. Adapun sakit yang menyebabkan berkuranganya martabat kenabian, seperti gila, baik sebentar maupun lama, begitu juga; kusta, lepra,b uta, dan hal-hal lain yang orang lain akan menjauhinya jika tertimpa penyakit tersebut.”
Kedua : Allah menjaga Nabi Muhammad yang tertera dalam surah al-Maidah: 67
Description: http://cintaallah.org/wp-content/uploads/2011/08/almaidahpotongan.jpg
Allah lah yang akan menjaga kamu (Muhammad) dari manusia…(QS Al-Maidah Ayat 67 )
Maksudnya yaitu bahwa Allah SWT akan menjaga Rasulullah SAW dari manusia yang ingin membunuhnya. Dan ayat di atas tidaklah bersifat umum,  karena sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Rasulullah SAW pernah mengalami luka-luka pada perang Uhud,  bahkan salah satu giginya rontok akibat serangan dari orang-orang kafir.
Ibnu al-Qayyim Rahimahullah ketika menjelaskan kedudukan hadits tersebut,  ia mengatakan:
“Hadits ini Tsabit (Shahih) menurut para ahli ilmu dalam bidang hadits,  mereka telah menerimanya dan tidak berselisih tentang keshahihannya. walaupun banyak kalangan ahli kalam dan selainnya yang membantahnya, mengingkari dengan keras bahkan menganggapnya dusta, sebagian mereka ada yang menulis karangan khusus tentang hal ini dan menuduh Hisyam (bin Urwah) sebagai penyebab (lemahnya). Dan yang maksimal (cercaan terhadap Hisyam bahwa mereka) menuduh Hisyam telah keliru dan tersamarkan hadits ini atasnya,  padahal sedikitpun dirinya tidak demikian. Lalu (mereka) berkata: ”Karena Nabi SAW tidak mungkin terkena sihir, sebab hal itu akan membenarkan perkataan kaum kuffar:
Tidaklah Kalian mengiktui kecuali seorang yang tersihir” (Q.S Al Furqon :8)
Mereka juga mengatakan: ”para Nabi tidak mungkin di sihir,  sebab yang demikian itu meniadakan pemeliharaan Allah SWT terhadapnya dan menjaganya dari para Syaitan”.
Semua yang mereka katakan tersebut tertolak menurut ahli ilmu. Sesungguhnya Hisyam termasuk perawi yang paling tsiqah dan berilmu, tidak seorangpun dari kalangan Imam mencela-nya yang mengakibatkan tertolaknya hadits (yang diriwayatkannya). Telah diriwayatkan pula dari selain Hisyam Radhiallahuanhu dari ‘Aisyah radhiallahuanha dan telah sepakat pemilik dua shahih (Bukhari dan Muslim) dalam menshahihkan hadits ini tidak seorangpun dari kalangan ahli hadits dan fiqih yang menolaknya. Kisah ini Masyhur bagi ahli tafsir, sunan, hadits, sejarah dan fuqaha’. Mereka lebih alim tentang keadaan Rasulullah SAW dan kesahariannya daripada ahli kalam . (at-Tafsir al Qayyim :5/406-407)
Selain itu, hadits Nabi disihir  juga merupakan asbab an-Nuzul surah al-Falaq dan an-Nas.
“Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah pernah mengalami sakit parah. Maka datanglah kepada beliau dua malaikat,  yang satu duduk di sebelah kepala beliau dan yang sebelah lagi duduk di sebelah kaki beliau. Berkatalah malaikat yang duduk di sebelah kaki beliau: “Apa yang engkau lihat?” ia menjawab: “beliau terkena guna-guna”. Dia bertanya lagi: “Apa guna-guna itu?” ia menjawab: “guna-guna itu sihir!” Dia bertanya lagi: “Siapa yang membuat sihirnya?” ia menjawab: “Labid ibn al-‘Asham,  yang sihirnya berupa gulungan yang disimpan didalam sumur keluarga si anu dibawah batu besar. Datanglah kesumur itu, timbalah airnya dan angkat batunya, kemudian ambilah gulungannya dan bakarlah.” Pada pagi harinya Rassulullah mengutus Ammar ibn Yasir dan kawan-kawannya. Setibanya di sumur itu, tampaklah airnya merah seperti air pacar. Air itu ditimbanya dan diangkat batunya serta dikeluarkan gulungnnya kemudian dibakar. Ternyata di dalam gulungan itu ada tali yang terdiri sebelas simpul. Kedua surah ini (al-Falaq dan an-Nas) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Setiap kali membacakan satu ayat,  maka terbukalah simpulnya.
2.      Kelompok kontra
Seandainya kita menerima riwayat tersebut secara leterlek, pasti akan tampak bagi kita bahwa sosok Rasulullah SAW yang penuh berkat itu sangat lemah derajatnya sehingga memungkinkan orang-orang untuk mengatakan bahwa setiap orang jahat yang memusuhi beliau bisa menguasai beliau s.a.w. dan mengatur-atur beliau sekehendak hatinya melalui perantaraan sihir. Buktinya,  musuh-musuh yang memiliki kekuatan mampu menguasai hati beliau yang suci dan kecerdasan beliau yang cemerlang dengan cara menenung dan menyihir beliau sehingga  Nabi SAW tidak berdaya dan hilang akal di hadapan sihir-sihir mereka.
Adapun Rasulullah SAW adalah insan yang berhati suci yang memperlihatkan kebesaran Allah Ta’ala. Beliau memiliki derajat yang sangat kuat sehingga beliau mampu memikul firman (Allah) yang maha berat. Dan itulah amanat yang tidak sanggup dipikul oleh langit dan bumi. Ketawakalan dan ketauhidan beliau melampaui derajat yang sangat tinggi.
‘Allaamah Az-Zurqoni dalam syarahnya menukil perkataan Imam Ar-Razi demikian: ”Pengaruh sihir tidak akan ada kecuali bagi orang-orang fasiq. Oleh karena itu, berprasangka bahwa Rasulullah SAW telah tertimpa sihir adalah ocehan yang tertolak dan tidak masuk akal serta ditolak oleh akal sehat. Adapun memohon bantuan syaithan untuk menentang seorang Rasul pun merupakan perkara yang tertolak dan tidak bisa diterima. Apalagi sosok Rasulullah SAW yang telah mengalahkan kekuatan syaithan melalui mukjizat belau sehingga syaithan yang ada pada beliau telah menjadi muslim.
Tidak diragukan bahwa Rasulullah SAW adalah Rasul terbaik. Dan tidak akan ada seorangpun yang mampu menghancurkan kekuatan thaghut seperti yang dilakukan kepada Rasulullah SAW jadi tidak pantas serta tidak layak bahkan tidak benar kalau ada yang mengatakan bahwa beliau suatu hari pernah terkena hantaman sihir syaithan yang didatangkan oleh orang Yahudi yang hina itu. Tidak mungkin seorang makhluk Allah yang termulia terpengaruh oleh pekerjaan kotor ini. Cerita-cerita ini tidak lain melainkan pikiran-pikiran kotor yang bertentangan dengan akal manusia. 

Dari ketangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa hadits yang diriwayatkan dari ummul mu’min Sayyidina Aisyah ini dari segi sanad perawinya shahih, sedangkan dari segi matannya juga terbilang shahih, dikarenakan Nabi  Muhammad saw adalah seorang manusia biasa yang bisa terkena sihir, dan yang dimaksud sihir disini adalah sebuah penyakit jasmani yang layak dialami oleh semua insan, sehingga tidak ada indikasi terhambatnya risalah Rasul saw. akan tetapi banyak juga pendapat yang menyatakan bahwa matan dari hadits ini berstatus “Dhaif”.  

"Di Kesunyian Malam", 21 Agustus 2012



Senin, 20 Agustus 2012

Tafsir Al Baghawi


Biografi Imam Al-Baghawi
Nama lengkapnya adalah Al-Husain Ibnu Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawi. Yang dinisbatkan kepada nama desa bagha yang terletak di antara Herrat dan Marw ar-Rudz. Ia tinggal di negri khurasan Lahir pada tahun 456 H = 1044 M.  dan wafat di Marwa pada bulan syawwal tahun 516 H = 1112 M pada usia delapan puluh tahun dan dimakamkan disebelah makam gurunya yaitu Al-Qodhi Husain Ibn Muhammad Marw Ar-Rud. Ia seorang Ulama fiqh, ulama hadits dan ulama tafsir. Ia sangat terkemuka dalam bidang hadits sehingga  mendapat gelar “Muhyi As-Sunnah” (yang menghidupkan sunnah). Ada juga yang meriwayatkan bahwa Al-Baghawi wafat pada tahun 510 H=1117 M.
Beliau dilahirkan di desa Bagha dan belajar di desa Ar-Rudz.  Ia belajar fiqih kepada Al-Qodhi Husain Ibn Muhammad Marw Ar-Rud yaitu pengarang kitab At-Ta’liqah  yang terkenal dalam bidang Fiqihnya juga dalam periwayatannya, ia adalah murid istimewanya Al-Qodhi. Ia mendengarkan riwayat  dari jalur sanad  para sahabat, seperti: Marwa Abi Umar, Abdul Wahid Ibn Ahmad Al-Maliki, Abi Hasan Ad-Dawudi, Abu Bakar Ya’qub Ibn Ahmad As-Shairafi Al-Nasaiburi wafat pada tahun 466 H, Abu Hasan Ali Ibn Yusuf Al-Juwaini yang terkenal dengan gelar syaikh al-Hijaz wafat pada tahun 463H, dan dari selain mereka periwayatan yang ia dengar ialah sebanyak 460 hadits, beliau juga meriwayatkannya secara berjama’ah.
Ia  adalah seorang imam yang mulia, pemadu antara ilmu dan amal dan dikatakan oleh As-Subki bahwasanya ia adalah seorang ulama syafi’iyyah yang wara’ dan zahid. Ia diberkahi karena kitab-kitabnya dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa karena ketulusan niatnya. Para ulama berlomba-lomba untuk meraih prestasi sebagaimana Al Baghawi. Ia tidak mengajar kecuali dalam keadaan bersuci, berpakaian sederhana, mempunyai pengetahuan luas tentang tafsir, fiqih, seorang syaikh, imam, ulama yang dijadikan panutan dan seorang yang hafizh. 
Ia tumbuh dewasa dengan bermadzhab Syafi’i, karena ia hidup di lingkungan pengikut madzhab Syafi’i, dan menimba ilmu dengan ulama-ulama pengikutnya. Ia mempunyai peninggalan yang berharga dalam madzhab Syafi’i yaitu kitab at-Tahdzib. Dalam kitab itu ia mengarah kepada arahan orang-orang yang ahli dalam mentarjih, menguji dan mentashih, tidak panatik terhadap madzhabnya, tidak menghantam dengan madzhab lainya, tujuanya hanya ingin sampai kepada apa yang lebih dekat dengan nash-nash dan lebih sesuai dengan dasar-dasar agama.
Asy-Syaikh Taqiuddin Al-Subki berkata: “Sedikit sekali kami melihatnya memilih sesuatu kecuali apabila ditelitinya maka ia akan menemukan yang lebih kuat dari yang lainnya, selain itu ia juga dapat mengungkapkannya dengan ringkas. Hal tersebut menunjukan bahwa ia diberikan kecerdasan yang luar biasa dan berhati-hati dalam menulis tafsir ini.”

Karya-karya Imam Al-Baghawi
Ia adalah seorang yang telah menghimpun Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Sunnah dan Fiqih. Semangat keilmuannya yang besar ini sungguh telah menghasilkan sejumlah karangan yang berharga, diantaranya:
1)     Kitab kumpulan fatwa yang dihimpunkannya dari fatwa-fatwa gurunya Abi Ali Al-Husain Ibn Muhammad Al-Marwazi.
2)     Kitab At-Tahdzib yang membahas tentang Fiqih Imam Sya-fi’i. Kitab ini adalah karangan yang bebas, telah dikoreksi, dan biasanya telah memuat dalil-dalilnya.
3)     Kitab Syarh As-Sunnah.
4)     Kitab Ma’alim At-Tanzil, yaitu kitab Tafsir yang terkenal.

Sumber Penafsiran
Al-Baghawi sangat selektif dalam memilih masalah yang terbaik dan menafsirkannya dengan tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, beliau berpedoman pada:
1)     Atsar As-Shahabi baik perkataan atau riwayat dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Seperti, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
2)     Hukum-hukum kebahasaan yang terdapat dalam Al-Qur’an, dalil-dalil kebahasaan (kitab kebahasaan) dan juga syair-syair untuk menjelaskan makna ayat.
3)     Sejarah Nabi.
4)     Ia mengambil banyak dari para ulama qiro’at.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau mengutip atsar para salaf dengan meringkas sanad-sanadnya. Beliau juga membahas kaidah-kaidah tata bahasa dan hukum-hukum fiqih secara panjang lebar. Tafsir ini juga banyak memuat kisah-kisah dan cerita sehingga kita juga bisa menemukan diantaranya kisah-kisah Israiliat yang ternyata bathil (menyelisihi syariat dan tak rasional). Namun secara umum, tafsir ini lebih baik dan lebih selamat dibanding sebagian kitab-kitab tafsir bil ma’tsur lain.
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang paling dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah diantara Al-kassyaf, Al-Qurtubi atau Al-Baghawi. Beliau menjawab:”adapun diantara tiga tafsir yang ditanyakan, tafsir yang paling selamat dari bid’ah dan hadis dhaif adalah Tafsir Al-Baghawi, bahkan ia adalah ringkasan tafsir Atsa’labi dimana beliau menghapus hadis palsu dan bid’ah di dalamnya”.
Tafsir al-Baghawi merupakan ringkasan dari “Tafsir ats-Tsa’labi karya Ahmad bin Muhammad ats-Tsa’labi dan al-khazin merupakan ringkasan dari al-baghawi. Karena itu, tafsir ini dianggap “ringkasan atas ringkasan” (mukhtashar li mukhtashar), yang di dalamnya hanya berisi cuplikan dan kutipan yang selektif, dengan menghilangkan rangkaian sanad dan menghindari penjelasan yang panjang. Ini dimaksudkan agar bisa memberikan kemudahan bagi para pembacanya dan kitab ini bisa lebih bermanfaat, demikian ditegaskan oleh an-Nasafi.
Metode Penafsiran
Tafsir ini dikategorikan Tafsir Bil Ma’tsur karena banyak sekali mengangkat riwayat dalam penafsirannya, termasuk berbagai kisah sejarah dan cerita Israiliyat. Dalam hal ini, pengarang kitab tafsir ini menegaskan bahwa riwayat-riwayat itu merujuk pada kitab-kitab yang diperhitungkan oleh para ulama, seperti kitab al-Jam’u Baina ash-Shahihain karya al-Humaidi dan kitab Jami’ al-Ushul karya Ibn al-Atsir. Ternyata beberapa kisah sejarah dan cerita Israiliyat di dalam kitab tafsir tersebut masih dipenuhi dengan kisah dan cerita yang batil (diragukan kebenarannya).
Ia telah menulis muqoddimah tafsirnya yang menjelaskan tentang metodenya, tujuan, dan sisi lain dari ilmunya yang luas dalam bidang penelitian Al-Qur’an. Kemudian ia menyebutkan sejumlah pasal yang ada dalam tafsirnya berikut penjelasannya. Yaitu pasal tentang fadilah Al-Qur’an dan mengajarkannya; pasal tentang keutamaan membaca Al-Qur’an; pasal tentang ancaman bagi orang yang berbicara tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri tanpa ada pengetahuannya.
Ia telah sempurna mempersiapkan tafsirnya dari segi bahasa, karenanya ia telah berguru dengan ahli bahasa. Sebagian orang menyangka bahwa bahasa cukup dalam mengenal tafsir, tetapi anggapan mereka itu salah. Maka dalam tafsir harus memiliki unsur-unsur lain, diantaranya sunnah Nabi.
Ia adalah seorang ahli Hadits yang istimewa dan dipercaya, menurut para ulama hadits ia adalah Al-Imam Al-Hafidz At-Tsiqoh. Ia juga telah mendalami Ilmu Qiro’at dan ini terlihat dalam tafsirnya.
Karakteristik Penulisan
Dalam menafsiran Al-Qur’an beliau juga berpegang pada kaidah-kaidah penulisan dengan memisahkan antara tafsir dan kurung bunga .........Beliau menggunakan dua kurung bunga itu untuk memisahkan antara tafsir dan Al-Qur’an, hal ini digunakan agar para pembaca dapat membedakan antara tafsir dan Al-Qur’an. Beliau juga menafsirkan ayat dengan ayat dan ayat dengan hadits yang berpegang pada tafsir bil ma’tsur.
Dalam setiap jilidnya tafsir ini mencantumkan daftar isi berupa surat dan ayat serta halaman yang terdapat priwayatan hadits-hadits Nabi. Hadits-hadits tersebut berisi tentang keutaman-keutamaan Al-Qur’an. Selain itu, dalam penafsiran kitab ini Al-Baghawi juga menggunakan kata-kata yang ringkas, sehingga tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek yang mencakup lima jilid. Tafsir ini termasuk dalam tafsir tahlili dikarenakan ditulis dengan tartib mushafi, yaitu ditulis dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas.
Contoh Tafsir Al-Baghawi
Ÿwur (#qä9qà)s? `yJÏ9 ã@tFø)ムÎû È@Î6y «!$# 7NºuqøBr& 4 ö@t/ Öä!$uômr& `Å3»s9ur žw šcrããèô±n@ ÇÊÎÍÈ  
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.(Q.S Al-Baqarah: 154)
            Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mati syahid pada perang Badar. Dari kaum Muslimin berjumlah 14 orang laki-laki: 6 orang dari kaum Muhajirin dan 8 orang dari kaum Anshar. Orang mengatakan jika ada yang terbunuh dijalan Allah: telah meninggal si fulan dari kenikmatan dunia dan kesenangnnya. Sebagaimana Allah berfirman tentang orang-orang yang mati syahid dalam perang Uhud:
Ÿwur ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# (#qè=ÏFè% Îû È@Î6y «!$# $O?ºuqøBr& 4 ö@t/ íä!$uŠômr& yYÏã óOÎgÎn/u tbqè%yöãƒ ÇÊÏÒÈ  
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.  (Q.S Ali Imran: 169)
            Al-Hasan Berkata: “Sesungguhnya orang yang mati syahid mereka hidup di sisi Allah SWT. Rizqi mereka didatangkan di ruh-ruh mereka maka sampailah pada mereka perasaan senang dan gembira sebagaimana api nereka di datangkan kepada ruh-ruh keluarga fir’aun di waktu pagi dan sore maka sampai pada mereka perasaan sakit.”